PPATK Dorong Penguatan Transparansi Beneficial Ownership untuk Cegah TPPU dan Korupsi
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menegaskan pentingnya penguatan transparansi Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat dalam korporasi sebagai bagian dari strategi nasional pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi. Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan PPATK, menjelaskan keterbukaan data BO kini menjadi tuntutan internasional dan kebutuhan domestik. Dari sisi global, kewajiban ini diatur dalam G20 Principles dan Financial Action Task Force (FATF) Recommendations. Sementara secara nasional, data BO yang akurat memudahkan penegakan hukum dalam melacak aliran dana mencurigakan di balik struktur korporasi.
“Jika data BO tersedia secara akurat, proses analisis dan pemeriksaan akan lebih mudah, dan kita bisa mengetahui siapa pengendali atau penerima manfaat sebenarnya dari suatu transaksi,” ujar Fithriadi dalam Forum Nasional di Kementerian Hukum (Kemenkum), Senin (6/10/2025).
Indonesia telah menjadi anggota ke-40 FATF sejak Oktober 2023. Keanggotaan ini membawa konsekuensi peningkatan standar kepatuhan, termasuk dalam penerapan rekomendasi FATF nomor 24 dan 25 yang mengatur soal keterbukaan pemilik manfaat. Berdasarkan penilaian FATF, Indonesia telah masuk kategori largely comply, meski masih memiliki catatan perbaikan pada aspek pemberian sanksi bagi korporasi yang melanggar kewajiban pelaporan BO.
Fithriadi menilai, kelemahan pada aspek sanksi menjadi salah satu pekerjaan rumah utama. Ketentuan yang ada saat ini belum memberi efek jera dan proporsional untuk memastikan kepatuhan korporasi. Padahal menurut hasil National Risk Assessment (NRA), korporasi merupakan entitas dengan tingkat risiko tertinggi sebagai pelaku TPPU. “Korporasi dapat menjadi sarana pencucian uang karena memiliki kemampuan melakukan berbagai perbuatan hukum. Jika pemilik manfaatnya tidak jelas, sulit bagi penegak hukum menelusuri aktor yang bertanggung jawab,” katanya.
Selain aspek regulasi, PPATK juga menyoroti perlunya peningkatan akurasi dan pembaruan data BO. Verifikasi informasi menjadi krusial guna memastikan bahwa data yang disampaikan perusahaan benar-benar menggambarkan pemilik manfaat sebenarnya. “Informasi BO harus memadai, akurat, dan up to date. Ini menjadi tantangan terbesar dalam implementasi di lapangan,” ujar Fithriadi.
Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Sari Anggraeni menambahkan transparansi BO merupakan amanah internasional yang juga berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi. Penerapan kebijakan ini menjadi bagian dari komitmen tanah air untuk memperkuat tata kelola korporasi yang bersih dan berintegritas.
Dasar hukum transparansi BO berawal dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, yang muncul sebagai tindak lanjut komitmen global pasca-terungkapnya Panama Papers. Stranas PK pun berkolaborasi dengan berbagai lembaga. Seperti PPATK, Direktorat Jenderal Pajak, Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), hingga Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) guna mendorong korporasi untuk patuh melaporkan BO.
Hingga kini, tingkat kepatuhan pelaporan BO baru mencapai sekitar 51 persen dari total korporasi yang terdaftar. Sebagian besar entitas yang belum melapor merupakan perusahaan dormant atau tidak aktif. Meski demikian, pemerintah menganggap perlu ada mekanisme pembaruan data dan penegakan sanksi agar kepatuhan meningkat.
Kesimpulan : Menurut hasil National Risk Assessment (NRA), korporasi merupakan entitas dengan Tingkat risiko tertinggi sebagai pelaku TPPU karena dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai perbuatan hukum, maka dari itu berhati-hatilah jika ada korporasi yang tidak jelas kepemilikannya. Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat secara berkala setiap satu tahun sekali dan menyampaikan setiap perubahan informasi paling lama 3 hari kerja sejak terjadinya perubahan (Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018). Korporasi yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan Pemilik Manfaat dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran, pencantuman dalam daftar hitam, dan pemblokiran akses AHU Online, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Menteri Hukum Nomor 2 Tahun 2025.